Gunung Gamping, Keindahan Alam yang Kini hanya Tinggal Cerita
Jumat, 30 Maret 2018
Add Comment
Indonesia memiliki banyak kekayaan alam dan wisata alam yang indah, dari sabang sampai merauke terbentang banyak pulau-pulau indah menghiasi, keindahan indonesia bak atlantis yang pernah hilang. Kita patut bangga dengan negara kita dengan banyaknya kekayaan alam dan keindahan alam yang dimiliki. Untuk sebab itu perlu dijaga agar tetap lestari dan bisa dinikmati oleh generasi-generasi selanjutnya. Keindahan alam indonesia sudah seharusnya kita jaga agar tidak hanya menjadi cerita saja di masa depan nanti. Bukan hanya Flora dan Fauna yang harus dijaga, namun wisata alam juga harus diperhatikan serupa.
Hingga tahun 1937, Gunung Gamping masih berdiri kokoh memanjang. Karena ekploitasi penambangan yang besar-besaran, yang tersisa kini hanyalah gundukan batu besar yang tersisa dan menjadi monumen keberadaan Gunung Gamping. Sejak zaman dahulu material dari gunung selalu digunakan untuk bahan material dan pewarna tembok. Ketika Era penjajahan tiba, penambangan dilakukan makin menjadi, Sebagian besar Material dari gunung gamping di gunakan oleh pemerintahan kolonial untuk membangun rumah-rumah loji. Selain itu pabrik-pabrik gula di Yogyakarta pada masa itu turut andil dengan hilangnya gunung gamping. Kapur dari gunung gamping sering sekali digunakan sebagai media pemurnian tebu untuk dijadikan kristal gula.
Berdasarkan junghuhn seorang peneliti asal belanda yang dilansir dari omahkendeng.org, dalam catatannya menuliskan kronologis di mulainya pengerukan kekayaan alam dari gunung gamping. Dalam catatannya dia juga membuat sketsa gunung gamping (gambar sudah tertera di atas) yang menarik dan dibuat di java album 1849. Pada masa itu gunung gamping berupa perbukitan karst luas dengan bukit-bukit gamping yang mencapai 150 kaki atau sekitar 50 meter dari permukaan tanah. Berdasarkan penuturan junghuhn pada tahun 1883, dikeluarkan suatu aturan yang dikenal dengan "pranatan" yang membolehkan penggalian batu gamping. Alhasil tragedi hilangnya gunung gamping pun di mulai, batu-batuan gamping mulai di eksploitasi besar-besaran untuk pembangunan pada masa zaman belanda dulu baik itu untuk bangunan loji hingga digunakan untuk bahan pengolahan pabrik gula. Situasi angker dan sakral yang sebelumnya dikaitkan dengan gunung gamping yang menjadi tempat Hamengkubuwono I seakan tidak berarti lagi dan tidak dipedulikan oleh orang-orang.
Berdasarkan penuturan juru kunci gunung gamping yang dilansir dari sipulaukelapa.com, pada zaman penjajahan jepang seringkali terdengar bunyi dentuman ledakan oleh masyarakat sekitar dari gunung gamping, para penjajah jepang dulu sering mengebom gunung gamping dan mengambil batu-batuan gamping untuk kemudian dikumpulkan dibawa ke jepang sebagai bahan obat dan juga kaca. Selepas penjajahan berlalu, penambangan masih terus dilanjutkan oleh masyarakat dengan mengeruk tambang dari gunung gamping yang tersisa, akibat penambangan itulah gunung yang tadinya ribuan hektar menjadi sekian ratus meter. Pada tahun 1950-an, setelah eksploitasi tambang besar-besaran dari gunung gamping, yang tersisa hanyalah bongkahan yang setinggi 10 m. Dr Werner Rothpletz, seorang ahli geologi asal swiss pada tahun 1956 mengabadikan gambar bongkahan batu bagian dari gunung gamping yang tersisa setinggi 10 meter yang berdiri sendiri diantara pesawahan.
Di Cagar Alam Gunung Gamping yang terletak di dusun gamping tengah, desa ambarketawang, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DIY Yogyakarta terdapat sebongkah batu besar yang masih berdiri kokoh, batu besar itu merupakan saksi bisu dari keberadaan gunung gamping di masa lalu, Batu besar itu menurut ahli geologi diperkirakan berusia 50 juta tahun dan mengandung kapur yang berkadar tinggi. Gunung gamping sendiri dulunya berderet panjang Membujur dari timur ke barat dari kampung Delingsari (Padukuhan Gamping Tengah) hingga Padukuhan Tlogo, Desa Ambarketawang.
Hingga tahun 1937, Gunung Gamping masih berdiri kokoh memanjang. Karena ekploitasi penambangan yang besar-besaran, yang tersisa kini hanyalah gundukan batu besar yang tersisa dan menjadi monumen keberadaan Gunung Gamping. Sejak zaman dahulu material dari gunung selalu digunakan untuk bahan material dan pewarna tembok. Ketika Era penjajahan tiba, penambangan dilakukan makin menjadi, Sebagian besar Material dari gunung gamping di gunakan oleh pemerintahan kolonial untuk membangun rumah-rumah loji. Selain itu pabrik-pabrik gula di Yogyakarta pada masa itu turut andil dengan hilangnya gunung gamping. Kapur dari gunung gamping sering sekali digunakan sebagai media pemurnian tebu untuk dijadikan kristal gula.
Berdasarkan junghuhn seorang peneliti asal belanda yang dilansir dari omahkendeng.org, dalam catatannya menuliskan kronologis di mulainya pengerukan kekayaan alam dari gunung gamping. Dalam catatannya dia juga membuat sketsa gunung gamping (gambar sudah tertera di atas) yang menarik dan dibuat di java album 1849. Pada masa itu gunung gamping berupa perbukitan karst luas dengan bukit-bukit gamping yang mencapai 150 kaki atau sekitar 50 meter dari permukaan tanah. Berdasarkan penuturan junghuhn pada tahun 1883, dikeluarkan suatu aturan yang dikenal dengan "pranatan" yang membolehkan penggalian batu gamping. Alhasil tragedi hilangnya gunung gamping pun di mulai, batu-batuan gamping mulai di eksploitasi besar-besaran untuk pembangunan pada masa zaman belanda dulu baik itu untuk bangunan loji hingga digunakan untuk bahan pengolahan pabrik gula. Situasi angker dan sakral yang sebelumnya dikaitkan dengan gunung gamping yang menjadi tempat Hamengkubuwono I seakan tidak berarti lagi dan tidak dipedulikan oleh orang-orang.
Berdasarkan penuturan juru kunci gunung gamping yang dilansir dari sipulaukelapa.com, pada zaman penjajahan jepang seringkali terdengar bunyi dentuman ledakan oleh masyarakat sekitar dari gunung gamping, para penjajah jepang dulu sering mengebom gunung gamping dan mengambil batu-batuan gamping untuk kemudian dikumpulkan dibawa ke jepang sebagai bahan obat dan juga kaca. Selepas penjajahan berlalu, penambangan masih terus dilanjutkan oleh masyarakat dengan mengeruk tambang dari gunung gamping yang tersisa, akibat penambangan itulah gunung yang tadinya ribuan hektar menjadi sekian ratus meter. Pada tahun 1950-an, setelah eksploitasi tambang besar-besaran dari gunung gamping, yang tersisa hanyalah bongkahan yang setinggi 10 m. Dr Werner Rothpletz, seorang ahli geologi asal swiss pada tahun 1956 mengabadikan gambar bongkahan batu bagian dari gunung gamping yang tersisa setinggi 10 meter yang berdiri sendiri diantara pesawahan.
Upaya penyelamatan pun dilakukan oleh pemerintah, penambangan di gunung gamping berhenti setelah ada titah dari sultah hamengkubowono IX untuk menyelamatkan sisa gunung gamping yang dahulunya merupakan tempat pertapaan pertama Hamengkubuwono I dan sisa dari gunung gamping dipagari, dan pada tahun 1989 pemerintah mengeluarkan SK dan menjadikan sisa bongkahan batu dari gunung gamping sebagai cagar alam yang harus di lestarikan.
Sudah selayaknya kita harus melestarikan wisata-wisata alam yang ada di indonesia, jangan sampai hanya menjadi tinggal cerita karena keserakahan umat manusia yang mengekploitasi alam secara berlebihan. Lestarikanlah wisata alam agar anak cucu kita bisa menikmatinya di masa depan.
0 Response to "Gunung Gamping, Keindahan Alam yang Kini hanya Tinggal Cerita"
Posting Komentar